Banjir mahadahsyat yang telah menewaskan lebih dari 1.100 orang di Pakistan adalah sebuah malapetaka iklim yang membutuhkan respons internasional yang kuat.
“Pakistan kini sedang menderita,” kata Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyerukan dalam video pernyataannya, Selasa 30 Agustus 2022.
Menurut Guterres, Pakistan menghadapi hujan monsun yang ekstrem–yang berdampak ke periode hujan dan banjir yang tak kunjung putus sejak Juni lalu.
PBB menyerukan pengumpulan dana $160 juta, atau sekitar Rp 2,4 triliun, dari dunia internasional untuk membantu 33 juta warga Pakistan yang terdampak bencana tersebut.
Sepanjang lebih dari delapan minggu hujan lebat di musim hujan yang ekstrem telah menyebabkan sepertiga wilayah Pakistan terendam banjir, atau yang terparah sejak 2010 lalu.
Kerugian yang ditimbulkan ditaksir pemerintahan setempat senilai lebih dari $10 miliar atau Rp 148,5 triliun.
Di beberapa wilayahnya, banjir bandang yang datang sudah diperkirakan sebelumnya oleh Global Flood Awareness System, sebuah skema pemantauan satelit Eropa.
Wilayah yang dimaksud adalah Pakistan sebelah selatan yang terbukti mengalami kerusakan paling parah.
Menteri Iklim Pakistan, Sherry Rehman, mengungkap lewat akun Twitter miliknya kalau satu kota kecil, Adidan, di Pakistan Selatan telah menerima curahan hujan hingga 1.700 milimeter dalam sehari.
Sebagai ilustrasi, BMKG mendefinisikan curahan 100-150 mm per hari sebagai hujan yang sangat lebat.
Bahkan helikopter-helikopter yang akan melakukan evakuasi disebutnya kesulitan menemukan daratan yang kering di wilayah itu.
“Ini benar-benar malapetaka dan bencana kemanusiaan yang sangat besar,” kata Rehman dalam kesempatan yang lain.
Kondisi geografis dan kemiskinan memang telah membuat Pakistan termasuk negara paling rentan di dunia terhadap dampak perubahan iklim.
Sebelumnya, pada tahun ini pula, Pakistan bersama India juga diterjang gelombang panas yang ekstrem.
Suhu udara di Jacobabad, satu di antara kota terpanas di dunia, terukur mencapai rekor 51 derajat Celsius.
Dalam pernyataannya hari ini, Guterres menyatakan geram melihat aksi-aksi pengurangan emisi gas rumah kaca yang selama ini tidak mendapat perhatian serius.
Dia mengibaratkan dunia dengan orang yang tidur sambil berjalan menuju kehancuran Bumi karena perubahan iklim.
“Mari menghentikan itu semua.
Hari ini, Pakistan.
Besok, bisa saja di negara Anda,” katanya.
Rehman juga mengatakan kalau sudah waktunya untuk negara-negara pengemisi karbon terbesar, seperti Cina, Amerika Serikat, India, dan Uni Eropa, untuk mengkaji ulang kebijakan iklimnya.
Korban jiwa dan kerugian ekonomi dari banjir Pakistan kemungkinan akan menyediakan dorongan segar di konferensi-konferensi iklim untuk isu ‘loss and damage’.
Isu itu didorong negara-negara berpenghasilan lebih rendah.
Mereka menyerukan beberapa bentuk reparasi dari negara dengan sejarah emisi yang besar terhadap dampak dari perubahan iklim yang terjadi sekarang.
Agenda Konferensi iklim COP27 di Mesir pada November nanti.
Tapi agenda belum tentu mulus seperti yang diharapkan.
Sejauh ini, negara-negara yang lebih kaya hanya menyepakati sebatas mendiskusikannya secara formal lebih jauh.
Tingginya korban jiwa dalam banjir Pakistan melahirkan dugaan sistem peringatan dini masih belum bisa menjangkau cukup banyak orang di negara itu.”Kenapa banjir sekarang ini mengulangi dampak banjir 2010 lalu yang menewaskan hampir 2.000 orang tewas,” kata Liz Stephens dari University of Reading, Inggris.
NEW SCIENTIST, BBC